Jalannya sudah
tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak
perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai
seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya
tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika
akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah
menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu
keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena
keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah,
tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang
tuanya.
Selain aib yang
harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai
hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang
mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari
siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang
bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat
yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia
berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk
putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih.
Siang ia harus
bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh
malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan.
Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari
itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu
pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia
bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak
mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat
ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak
mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.
Sejak ia
melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli
daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa
beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau
membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian
orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia
berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.
Pada suatu saat
ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada
saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk
memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang
yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan
putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm
keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan
bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali
badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan
memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus
bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama
hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.
Karena
perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya
diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari
seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih
mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah
kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai
babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon
suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pada saat
putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada
saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya
tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil
mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta.
Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia
dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di
koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali
mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat
mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak
mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa
tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan
bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk
bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk
menjadi babu di rumah keluarga putrinya.
Ia merasa
bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di
rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma
dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa
berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.
Di rumah
putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang
peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri.
Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah
dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis
di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau
mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada
putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia
sangat menyayangi putrinya.
Setelah bekerja
bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya
dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi.
Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia
memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.
Puluhan tahun
ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang
pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan
pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.
Pada tahun
lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali
ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya
sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal
dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di
samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan
selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.
Suhu diluaran
telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya,
jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena
di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi
ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir
kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus
berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo
tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan
yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.
Setiba di rumah
putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan
ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya
tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa
bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu
sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak
tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang
rumah!"
"Nak, Ibu
datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal
untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya,
bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang
turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu.
"Maaf saya
tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang
pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu,
jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal.
Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri,
seperti juga mengusir seorang pengemis.
Tidak ada rasa
kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat
kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah
putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar
untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek
meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"
Wanita tua ini
mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia
sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta
yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.
Seorang Ibu
melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan
pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam
sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan
lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan
dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan
hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan
mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu
saja ?